Inget nggak sih tahun 2006? Facebook masih eksklusif buat anak kampus, BlackBerry jadi lambang gaul, dan kita masih pada ke rental DVD. Yang seru, beberapa film 2006 yang dulu kita tonton—dan mungkin bingung atau bahkan nggak suka—sekarang malah dianggep masterpiece. Kok bisa ya?
Waktu itu kita masih muda. Expectasi kita beda. Sekarang, setelah hidup terjegal masalah cicilan dan kerjaan, film-film itu ternyata punya makna yang dalem banget. The Great Divide antara 2006 vs 2025 itu nyata, guys.
1. “Children of Men” – Yang Dulu: Depressing Banget, Sekarang: Visioner Banget
Dulu nonton ini: “Ini film apa sih? Suram amat dari awal sampai akhir. Ceritanya pelan banget.” Banyak yang nggak ngerti. Tapi coba lo tonton ulang sekarang. Di tahun di mana berita-berita kadang bikin pesimis, visi Alfonso Cuarón tentang masa depan yang runtuh dan secercah harapan yang rapih… itu bikin merinding.
Adegan one-shot yang ikonik itu, yang dulu mungkin cuma keliatan keren, sekarang kita apresiasi sebagai mahakaya sinematografi. Film ini bukan cuma ngebayangin masa depan, tapi ngejelasin perasaan kita sekarang. Kerennya nggak lekang waktu.
2. “The Prestige” – Yang Dulu: Ribet dan Aneh, Sekarang: Karya Christopher Nolan Terbaiknya?
Waktu itu, banyak yang kelimpungan. “Ini film tentang pesulap yang saingan, twist-nya kebanyakan, bikin pusing.” Rivalitasnya obsessif banget sampai ngerasa nggak relatable. Tapi setelah lo tau semua rahasianya, dan nonton untuk kedua atau ketiga kalinya… wah.
Setiap adegan, setiap dialog, itu adalah teka-teki yang disusun sempurna. Nolan basically bikin tutorial cara bikin plot twist yang memuaskan. Sekarang, di umur yang udah ngerasain persaingan karir dan harga diri, konflik antara Borden dan Angier jadi lebih masuk akal. Mereka berdua nggak ada yang jahat, cuma terobsesi. Dan kita? Mungkin pernah merasakan sedikit dari obsesi itu.
3. “Pan’s Labyrinth” – Yang Dulu: Film Horor Fairy Tale aneh, Sekarang: Alegori Terindah tentang Perang
Gue inget banget temen gue bilang, “Ini film fantasi kok serem sih? Nggak jelas.” Campuran antara dunia dongeng yang gelap dan kekejaman Perang Saudara Spanyol bikin banyak penonton bingung. Mau nonton fairy tale atau film perang?
Tapi sekarang, sebagai orang dewasa, kita baru ngeh. Itu lah kekuatannya. Guillermo del Toro nggak memisahkan antara monster fantasi dan monster di dunia nyata. Justru yang paling mengerikan adalah manusia-manusia fasisme. Adegan akhir yang tragis itu, dulu dilihat sebagai akhir yang sedih. Sekarang kita liat itu sebagai kemenangan kecil di tengah kegelapan. Film yang mature banget.
4. “The Fountain” – Yang Dulu: Beneran Nggak Ngerti, Sekarang: Filosofis dan Menyentuh
Ini pemenangnya. Dulu, hampir semua orang keluar bioskop (atau selesai dari rental) dengan muka yang paling bingung sedunia. “Jadi… itu tiga cerita? Dia abadi? Pohon? Apa hubungannya?”
Harus diakui, film ini butuh kesabaran. Tapi sekarang, di usia yang udah pernah kehilangan orang yang dikasihi atau takut akan waktu, “The Fountain” itu kayak puisi visual. Ini film tentang menerima kematian, tentang cinta yang melampaui waktu, dan tentang mencari ketenangan. Darren Aronofsky nggak mau kasih jawaban mudah. Dia ngajak kita untuk berdamai dengan misteri terbesar dalam hidup. Dulu kita nggak siap. Sekarang, mungkin iya.
5. “Marie Antoinette” – Yang Dulu: Cuma Film Remaja Cewek Bergaya, Sekarang: Kritik Sosial yang Cerdas
Dulu, banyak yang ngejek. “Itu film sejarah kok pake lagu New Order? Sofianya warna pink? Kirsten Dunst cuma pakai baju doang?” Sofia Coppola dituduh membuat film yang style over substance.
Tapi coba tonton ulang. Di era media sosial di mana kita semua dikurung oleh ekspektasi dan penilaian orang lain, “Marie Antoinette” adalah potret jenius tentang seorang perempuan yang terperangkap dalam gilded cage. Dia bukan orang jahat, cuma korban dari sistem dan harapan yang nggak masuk akal. Film ini adalah studi tentang alienasi dan loneliness di tengah kemewahan. Dulu kita nggak liat itu. Sekarang, kita mungkin bisa relate.
Kesalahan Kita Dulu Waktu Nonton Film-Film Ini
- Cari Hiburan Instan: Kita pengen film yang langsung jelas, lucu, atau seru. Film-film ini banyak yang slow-burn butuh mikir. Kita belum sabaran.
- Lompat ke Kesimpulan: Nggak suka sekali nonton, langsung cap “jelek” atau “aneh”. Padahal karya kompleks butuh waktu buat dicerna. Bahkan butuh ditonton ulang.
- Nonton Sendirian: Dulu belum ada medsos buat diskusi. Sekarang, dengan platform seperti YouTube dan podcast, kita bisa dengar analisis orang lain yang bikin kita apresiasi layer-layer yang terlewat.
Jadi, film 2006 itu kayak anggur baik. Semakin tua, semakin enak. Mereka datang terlalu cepat untuk zamannya. Tapi untungnya, kita akhirnya menyusul. Coba deh tonton ulang. Rasain bedanya. Karena film 2006 yang dulu kita sangka biasa aja, ternyata adalah masterpiece yang cuma menunggu kita untuk cukup dewasa buat memahaminya.